Memedi Sawah
Kearifan Lokal Petani
A. Pendahuluan
Dewasa kini kata orang-orangan sawah atau yang biasa disebut memedi sawah dalam bahasa Jawa kian sulit untuk kita jumpai. Orang-orangan sawahatau memedi sawah merupakantiruan manusia yang ditempatkan di sawah, kebun, dan ladang. Memedi sawahdi ciptakan untuk menakut-nakuti burung atau binatang lainnya (hama sawah) agar tidak mematuk atau merusak biji, tunas, serta buah-buahan yang tengah tumbuh. Membicarakan memedi sawah, erat kaitannya dengan kearifan petani terhadap ladang untuk cocok tanam. Dengan menggunakan memedi sawah, petani pun sadar mengusir hama tanpa harus merusak alam.
Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak.Sesungguhnya, manusia dan lingkungannya adalah gambaran hidup sistemis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri.Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita.
1. Kearifan Lokal
Dalam buku “Berpijak pada Kearifan Lokal” (dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003), I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan peganan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama
2. Makna Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Bila dipisah, kata budaya adalah daya atau budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Oleh karena itu, hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa reflek, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta (Koentjaraningrat, 1980, 193-195).
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Soekanto, 2007:151) berpendapat bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyrakat. Karya masyarakat mengasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitar agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Sementara itu, Soekato (2007: 150) menganggap bahwa kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Dari beberapa pengertian kebudayaan, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan buah budi manusia yang diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, Taylor (dalam Pasha, 2000:14) merumuskan kebudayaan sebagai keseluaruhan yang kompleks, meliputi sekian banyak aspek hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang berkembang secara akumulatif, yang menurut dimensi wujudnya ada tiga, yaitu:
a) Wujud kebudayaan sebagai “kompleks dari ide-ide”, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b) Wujud kebudayaan sebagai suatu “kompleks aktivitas kelakuan berpola” dari manusia dalam masyarakat.
c) Wujud kebudayaan sebagai “benda-benda hasil karya manusia”.
Menurut Kontjaraningrat (1980:7-9) ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai culltural universal yang biasa di dapatkan pada semua masyarakat di dunia ini, yaitu.
a) Sistem peralatan dan perlengkapan hidup terdiri dari alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan trasport, wadah-wadah dan tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, makanan dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, senjata.
b) Sistem mata pencarian hidup, terdiri dari berburu dan merantau, perikanan, bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap, perternakan perdagangan.
c) Sistem kemasyarakatan, terdiri dari kekerabatan, sisitem kesantunan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, sistem kenegaraan.
d) Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tertulis.
e) Kesenian terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni kkesusastraan, seni drama.
f) Sistem pengetahuan, terdiri dari penetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam flora, pengetahuan tentang pengetahuan fauna, pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang ruang, waktu, dan bilangan.
g) Sistem religi dan kehidupan kerohanian terdiri dari sistem kepercayaan, kesusastraan suci, sistem kepercayaan keagamaan, komuniti keagamaan, ilmu gaib, sistem nilai dan pandangan hidup.
3. Konsep Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Sebagai produk budaya, kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikapdan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Wujud kearifan petani dalam menjaga ladang atau sawah adalah memedi sawah. Selain berwujud manusia (sesosok petani), jenis lain dari memedisawah adalah replika hewan predator hama sawah seperti burung hantu atau tikus.
Memedi sawah merupakan produk universal petani-petani di seluruh dunia karena hampir seluruh peradaban di dunia yang bercocok tanam menggunakan orang-orangan sawah meskipun dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Namun, nasib memedisawah saat ini hampir punah.Hal ini bisa di lihat dari persawahan Indonesia khusunya di Kabupaten Bantul hampir semuaya tidak lagi dipasang memedi sawah sebagai pengusir hama. Dengan feomena yang ada, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentnang kearifan budaya memedi sawah besaerta nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya.
4. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang disusun sebagai berikut.
1. Apa makna memedi sawah sebagai kearifan lokal?
2. Apa sajakah fungsimemedi sawah sebagai kearifan lokal?
3. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan karakter dalam memedi sawah?
B. Pembahasan
1. Makna Memedi Sawah Sebagai Kearifan Lokal
Orang-orangan sawahatau disebut juga memedi merupakan fenomena yang saat ini hampir punah. Dari sekian banyak sawah yangada di Yogyakarta khususnya Kabupaten Bantul hampir tidak lagi dipasangi memedisawah. Pendapat tersebut sejalan dengan Dul Jamil (74 tahun) yang biasa disapa Bah Kaum, warga Jeragan, Kecamatan Serandakan, Bantul. Dul Jamil mengutarakan bahwa memedi sawah sekarang sudah “langka ditemoni”, hampir seluruh sawah dan ladang jagung pada masa panen tidak dipasang memedi sawah. Mungkin dirasa memang tidak perlu lagi. sosok memedisawah telah kalah peran dibandingkan pestisida, senapan angin, atau jaring. Burung pemangsa padi bisa dibasmi/dimusnahkan dengan alat-alat atau benda yang lebih canggih.
Akan tetapi persoalannya mungkin bukan terletak pada alat pengusir burung itu sendiri. Kemungkinan di masa lalu, masyarakat kita memang lebih arif dalam menyikapi lingkungan. Kedatangan burung pemangsa padi pada masa itu tidak ditanggulangi dengan dijaring, ditembak, atau diketapel. Akan tetapi, lebih banyak diusir dengan teriakan atau gerakan-gerakan tertentu. Selain mengusir burung, petani juga tidak perlu membunuh atau memburunya. Keberadaan burung mungkin telah dipahami sebagai penyeimbang keberadaankelestarian alam. Oleh karena itu, burung cukup diusir dan dikurangi populasinya.
Memedi Sawah merupakan alat yang dibuat dengan harapan agar burung tidak berani mendekati areal persawahan. Untuk itulah,memedisawah sering dibuat menyerupai orang. Menyerupai dalam arti ukuran maupun pakaian yang dikenakannya. Tidak mengherankan jika pakaian yang dikenakan pada memedisawah adalah pakaian bekas dari si petani itu sendiri. Petani berharap bahwa dengan diberi pakaian bekas yang pernah dikenakannya itu burung pun akan takut. Selain itu, memedi sawah dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis bahan, mulai dari bahan sederhana yang gampang dicari sampai bahan yang susah dicari. Semuanya itu tergantung pada kualitas lelakut yang diinginkan petani. Sebab ada petani yang membuat lelakut hanya untuk sekedar menakut-nakuti burung. Namun ada juga petani membuat lelakut bertuah yang disertai sesaji dan ritual untuk “menjaga” sawah dari..serangan..kekuatan..gaib..yang..bersifat..negatif.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsudin (dalam Kedaulatan Rakyat, tanggal 30 September 2013) memedi sawah dipasang tidak sekedar menakuti burung agar tidak merusak padi melainkan ada makna simbolis di balik dibuatnya memedi sawah di masa silam. Memedi sawah merupakan simbol ketahanan pangan yang harus dilakukan bangsa negeri ini. Ironisnya, kita belum berdaulat dalam soal pangan. Bahkan ada gejala, runtuhyan kedaulatan pangan. Sehingga kita sekarang banyak mengimpor bahan pangan.
Kehadiran memedi sawah sesungguhnya menjdi tempat kita belajar tentang perjuangan. Memedi sawah telah mengamalkan semua, tidak surut diterpa angin, disengat matahari, dibasahi hujan, tidak lekang teriknya matahari, ataupun dinginnya malam. Tidak pernah memedi sawah mundur sendiri. Dengan kata lain, hikmah filosof memedi sawah dalam kehiduapan adalah kesungguhan yang kuat hingga akhir tercapai tujuan hidup.
2. FungsiMemedi Sawah Sebagai Kearifan Lokal
Secara umum, fungsi utama dari memedi sawah adalah sebagai medium bagi petani untuk menjaga tanaman budidayanya dari serangan hama pertanian khususnya burung-burung seperti pipit, gagak, dan sebagainya. Dapat dikatakan juga, memedi sawah merupakan media komunikasi nonverbal antara petani dengan hama pertanian untuk membahasakan atau mengatakan pada hama-hama tersebut agar mereka menjauhi tanaman miliknya. Dengan adanya orang-orangan sawah ini, petani tidak harus berjaga-jaga 24 jam di areal pertanian miliknya meskipun efektifitas orang-orangan sawah hanya untuk mengusir hama yang terbang dan kurang baik untuk menjaga sawah dari serangan tikus atau babi hutan.
George H. Mead(dalam wikipedia orang-orangan_sawah.htm) beranggapan bahwa manusia kerapkali menggunakan simbol-simbol di dalam interaksi sosialnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang-orangan sawah merupakan suatu simbol yang digunakan petani untuk berinteraksi dengan burung serta hama pertanian lainnya. Simbol ini orang-orangan sawah (memedi sawah) mengandung makna atau pesan yang ingin disampaikan petani yaitu agar mereka menjauhi tanaman budidayanya milik petani.
Selain untuk menakut-nakuti burung, memedi sawah juga bisa dipakai alat untuk menolak bala, yaitu menangkal kekuatan gaib yang bersifat negatif. memedi sawah untuk penolak bala ini, saat dipasang di sawah dibekali dengan sesaji dan mantra agar kekuatan magisnya lebih terasa.
Memedi sawah yang disebut lelakut dalam bahasa Bali ini menggunakan mantradengan bahan pilihan yang sangat susah dicari karena jarang ditemui, yakni: pelepah nyuh nunggal (pelepah kelapa tunggal). Pelepah kelapa ini biasanya menggelantung sendiri di batang pohon kelapa, jauh dari pelepah yang lainnya, mungkin karena pelepah di sekitarnya sudah banyak berguguran. Papah nyuh nunggal diyakini mempunyai kekuatan magis untuk penolak bala dan pengusir burung.
Untuk memunculkan daya magisnya, memedi sawah perlu dihidupkan dengan sesaji dan mantra. Setelah ditancapkan di sawah saat hari pilihan, memedi sawah lelakut disembur dengan kesuna (bawang putih) dan jangu (sejenis rumput untuk obat) yang sudah dikunyah sebanyak 3 kali, dan sesaji yang dihaturkan berupa: canang 2 buah dan jajan satuh.Sesaji tersebut dibuat dan dihaturkan setiap 15 hari sekali, yaitu setiap hari pilihan, agar memedi sawah semakin bertuah. memedi sawah yang telah hidup ini sangat ampuh dipakai menakut-nakuti burung. Mantra dan sesaji juga penting untuk menjaga agar sawah tidak diganggu maling, leak atau orang yang bermaksud tidak baik (dalam http://lintasbali.blogspot.com/).
3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter, yakni; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dari nilai pendidikan karakter yang telah diuraikan, terdapat 16 nilai pendidikan karakter dalam kearifan lokal memedi sawah. Ke 16 nilai pendiikan karakter tersebut di antaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
C. Kesimpulan
Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Memedi sawah merupakan bentuk kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. memedi sawah dipasang tidak sekedar menakuti burung agar tidak merusak padi melainkan ada makna simbolis di balik dibuatnya memedi sawah di masa silam. Memedi sawah merupakan simbol ketahanan pangan yang harus dilakukan bangsa negeri ini. Ironisnya, kita belum berdaulat dalam soal pangan. Bahkan ada gejala, runtuhyan kedaulatan pangan. Sehingga kita sekarang banyak mengimpor bahan pangan.
Kehadiran memedi sawah sesungguhnya menjdi tempat kita belajar tentang perjuangan. Memedi sawah telah mengamalkan semua, tidak surut diterpa angin, disengat matahari, dibasahi hujan, tidak lekang teriknya matahari, ataupun dinginnya malam. Tidak pernah memedi sawah mundur sendiri. Dengan kata lain, hikmah filosof memedi sawah dalam kehiduapan adalah kesungguhan yang kuat hingga akhir tercapai tujuan hidup.
Daftar Pustaka
Danandjaya, James. 1987. Floklore Indonesia. Jakarta : Gramedia.
http://www.kaskus.co.id/thread/lelakut-hantu-sawah-dari-bali (diakses tanggal 9 Oktober 2013).
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Ridwan, Nurma Ali. Januari-Juni 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda. Vol. 5 No. 1. http://ibda.wordpress.com/2008/04/07/landasan-keilmuan-kearifan-lokal. 9 Oktober 2013
Sartini. Agustus 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat. Jilid 37, Nomor 2. http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf. 9 Oktober 2013
Sustiwi, Fadmi. 2013. Memedi Sawah, Kearifan Lokal Mengusir Hama. Kedaulatan Rakyat. 9 Oktober 2013
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pasha, Musthafa Kamal. dkk. 2000. Ilmu Budaya dasar. Yogyakarta: Cipta Karsa Mandiri.
Wikipedia bahasa IndonesiaOrang-orangan_sawah.htm (diunduh tanggal 9 Oktober 2013)