Memedi Sawah Kearifan Lokal Petani

Standard

 

Memedi Sawah
Kearifan Lokal Petani

 

A.    Pendahuluan

Dewasa kini kata orang-orangan sawah atau yang biasa disebut memedi sawah dalam bahasa Jawa kian sulit untuk kita jumpai. Orang-orangan sawahatau memedi sawah merupakantiruan manusia yang ditempatkan di sawah, kebun, dan ladang. Memedi sawahdi ciptakan untuk menakut-nakuti burung atau binatang lainnya (hama sawah) agar tidak mematuk atau merusak biji, tunas, serta buah-buahan yang tengah tumbuh. Membicarakan memedi sawah, erat kaitannya dengan kearifan petani terhadap ladang untuk cocok tanam. Dengan menggunakan memedi sawah, petani pun sadar mengusir hama tanpa harus merusak alam.

Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak.Sesungguhnya, manusia dan lingkungannya adalah gambaran hidup sistemis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri.Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita.

 

1.    Kearifan Lokal

Dalam buku “Berpijak pada Kearifan Lokal” (dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003), I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan peganan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.

Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama

 

2.    Makna Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Bila dipisah, kata budaya adalah daya atau budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Oleh karena itu, hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa reflek, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta (Koentjaraningrat, 1980, 193-195).

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Soekanto, 2007:151) berpendapat bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyrakat. Karya masyarakat mengasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitar agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Sementara itu, Soekato (2007: 150) menganggap bahwa kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.

 

Dari beberapa pengertian kebudayaan, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan buah budi manusia yang diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, Taylor (dalam Pasha, 2000:14) merumuskan kebudayaan sebagai keseluaruhan yang kompleks, meliputi sekian banyak aspek hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang berkembang secara akumulatif, yang menurut dimensi wujudnya ada tiga, yaitu:

a)        Wujud kebudayaan sebagai “kompleks dari ide-ide”, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b)        Wujud kebudayaan sebagai suatu “kompleks aktivitas kelakuan berpola” dari manusia dalam masyarakat.

c)        Wujud kebudayaan sebagai “benda-benda hasil karya manusia”.

 

Menurut Kontjaraningrat (1980:7-9) ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai culltural universal yang biasa di dapatkan pada semua masyarakat di dunia ini, yaitu.

a)      Sistem peralatan dan perlengkapan hidup terdiri dari alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan trasport, wadah-wadah dan tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, makanan dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, senjata.

b)      Sistem mata pencarian hidup, terdiri dari berburu dan merantau, perikanan, bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap, perternakan perdagangan.

c)      Sistem kemasyarakatan, terdiri dari kekerabatan, sisitem kesantunan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, sistem kenegaraan.

d)     Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tertulis.

e)      Kesenian terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, seni rias, seni vokal, seni kkesusastraan, seni drama.

f)       Sistem pengetahuan, terdiri dari penetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam flora, pengetahuan tentang pengetahuan fauna, pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang ruang, waktu, dan bilangan.

g)      Sistem religi dan kehidupan kerohanian terdiri dari sistem kepercayaan, kesusastraan suci, sistem kepercayaan keagamaan, komuniti keagamaan, ilmu gaib, sistem nilai dan pandangan hidup.

 

3.    Konsep Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Sebagai produk budaya, kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikapdan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Wujud kearifan petani dalam menjaga ladang atau sawah adalah memedi sawah. Selain berwujud manusia (sesosok petani), jenis lain dari memedisawah adalah replika hewan predator hama sawah seperti burung hantu atau tikus.

Memedi sawah merupakan produk universal petani-petani di seluruh dunia karena hampir seluruh peradaban di dunia yang bercocok tanam menggunakan orang-orangan sawah meskipun dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Namun,  nasib memedisawah saat ini hampir punah.Hal ini bisa di lihat dari persawahan Indonesia khusunya di Kabupaten Bantul hampir semuaya tidak lagi dipasang memedi sawah sebagai pengusir hama. Dengan feomena yang ada, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentnang kearifan budaya memedi sawah besaerta nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya.

 

 4.    Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang disusun sebagai berikut.

1.        Apa makna memedi sawah sebagai kearifan lokal?

2.        Apa sajakah fungsimemedi sawah sebagai kearifan lokal?

3.        Apa sajakah nilai-nilai pendidikan karakter dalam memedi sawah?

 

B.  Pembahasan

1.    Makna Memedi Sawah Sebagai Kearifan Lokal

Orang-orangan sawahatau disebut juga memedi merupakan fenomena yang saat ini hampir punah. Dari sekian banyak sawah yangada di Yogyakarta khususnya Kabupaten Bantul hampir tidak lagi dipasangi memedisawah. Pendapat tersebut sejalan dengan Dul Jamil (74 tahun) yang biasa disapa Bah Kaum, warga Jeragan, Kecamatan Serandakan, Bantul. Dul Jamil mengutarakan bahwa memedi sawah sekarang sudah “langka ditemoni”, hampir seluruh sawah dan ladang jagung pada masa panen tidak dipasang memedi sawah. Mungkin dirasa memang tidak perlu lagi. sosok memedisawah telah kalah peran dibandingkan pestisida, senapan angin, atau jaring. Burung pemangsa padi bisa dibasmi/dimusnahkan dengan alat-alat atau benda yang lebih canggih.

Akan tetapi persoalannya mungkin bukan terletak pada alat pengusir burung itu sendiri. Kemungkinan di masa lalu, masyarakat kita memang lebih arif dalam menyikapi lingkungan. Kedatangan burung pemangsa padi pada masa itu tidak ditanggulangi dengan dijaring, ditembak, atau diketapel. Akan tetapi, lebih banyak diusir dengan teriakan atau gerakan-gerakan tertentu. Selain mengusir burung, petani juga tidak perlu membunuh atau memburunya. Keberadaan burung mungkin telah dipahami sebagai penyeimbang keberadaankelestarian alam. Oleh karena itu, burung cukup diusir dan dikurangi populasinya.

Memedi Sawah merupakan alat yang dibuat dengan harapan agar burung tidak berani mendekati areal persawahan. Untuk itulah,memedisawah sering dibuat menyerupai orang. Menyerupai dalam arti ukuran maupun pakaian yang dikenakannya. Tidak mengherankan jika pakaian yang dikenakan pada memedisawah adalah pakaian bekas dari si petani itu sendiri. Petani berharap bahwa dengan diberi pakaian bekas yang pernah dikenakannya itu burung pun akan takut. Selain itu, memedi sawah dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis bahan, mulai dari bahan sederhana yang gampang dicari sampai bahan yang susah dicari. Semuanya itu tergantung pada kualitas lelakut yang diinginkan petani. Sebab ada petani yang membuat lelakut hanya untuk sekedar menakut-nakuti burung. Namun ada juga petani membuat lelakut bertuah yang disertai sesaji dan ritual untuk “menjaga” sawah dari..serangan..kekuatan..gaib..yang..bersifat..negatif.
         Menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsudin (dalam Kedaulatan Rakyat, tanggal 30 September 2013) memedi sawah dipasang tidak sekedar menakuti burung agar tidak merusak padi melainkan ada makna simbolis di balik dibuatnya memedi sawah di masa silam. Memedi sawah merupakan simbol ketahanan pangan yang harus dilakukan bangsa negeri ini. Ironisnya, kita belum berdaulat dalam soal pangan. Bahkan ada gejala, runtuhyan kedaulatan pangan. Sehingga kita sekarang banyak mengimpor bahan pangan.

Kehadiran memedi sawah sesungguhnya menjdi tempat kita belajar tentang perjuangan. Memedi sawah telah mengamalkan semua, tidak surut diterpa angin, disengat matahari, dibasahi hujan, tidak lekang teriknya matahari, ataupun dinginnya malam. Tidak pernah memedi sawah mundur sendiri. Dengan kata lain, hikmah filosof memedi sawah dalam kehiduapan adalah kesungguhan yang kuat hingga akhir tercapai tujuan hidup.

 

2.    FungsiMemedi Sawah Sebagai Kearifan Lokal

Secara umum, fungsi utama dari memedi sawah adalah sebagai medium bagi petani untuk menjaga tanaman budidayanya dari serangan hama pertanian khususnya burung-burung seperti pipit, gagak, dan sebagainya. Dapat dikatakan juga, memedi sawah merupakan media komunikasi nonverbal antara petani dengan hama pertanian untuk membahasakan atau mengatakan pada hama-hama tersebut agar mereka menjauhi tanaman miliknya. Dengan adanya orang-orangan sawah ini, petani tidak harus berjaga-jaga 24 jam di areal pertanian miliknya meskipun efektifitas orang-orangan sawah hanya untuk mengusir hama yang terbang dan kurang baik untuk menjaga sawah dari serangan tikus atau babi hutan.

 

George H. Mead(dalam wikipedia orang-orangan_sawah.htm)  beranggapan bahwa manusia kerapkali menggunakan simbol-simbol di dalam interaksi sosialnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang-orangan sawah merupakan suatu simbol yang digunakan petani untuk berinteraksi dengan burung serta hama pertanian lainnya. Simbol ini orang-orangan sawah (memedi sawah) mengandung makna atau pesan yang ingin disampaikan petani yaitu agar mereka menjauhi tanaman budidayanya milik petani.

Selain untuk menakut-nakuti burung, memedi sawah juga bisa dipakai alat untuk menolak bala, yaitu menangkal kekuatan gaib yang bersifat negatif. memedi sawah untuk penolak bala ini, saat dipasang di sawah dibekali dengan sesaji dan mantra agar kekuatan magisnya lebih terasa.

 

Memedi sawah yang disebut lelakut dalam bahasa Bali ini menggunakan mantradengan bahan pilihan yang sangat susah dicari karena jarang ditemui, yakni: pelepah nyuh nunggal (pelepah kelapa tunggal). Pelepah kelapa ini biasanya menggelantung sendiri di batang pohon kelapa, jauh dari pelepah yang lainnya, mungkin karena pelepah di sekitarnya sudah banyak berguguran. Papah nyuh nunggal diyakini mempunyai kekuatan magis untuk penolak bala dan pengusir burung.

 

 

Untuk memunculkan daya magisnya, memedi sawah perlu dihidupkan dengan sesaji dan mantra. Setelah ditancapkan di sawah saat hari pilihan, memedi sawah lelakut disembur dengan kesuna (bawang putih) dan jangu (sejenis rumput untuk obat) yang sudah dikunyah sebanyak 3 kali, dan sesaji yang dihaturkan berupa: canang 2 buah dan jajan satuh.Sesaji tersebut dibuat dan dihaturkan setiap 15 hari sekali, yaitu setiap hari pilihan, agar memedi sawah semakin bertuah. memedi sawah yang telah hidup ini sangat ampuh dipakai menakut-nakuti burung. Mantra dan sesaji juga penting untuk menjaga agar sawah tidak diganggu maling, leak atau orang yang bermaksud tidak baik (dalam http://lintasbali.blogspot.com/).

 

 

 

 

3.    Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter

Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter, yakni; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dari nilai pendidikan karakter yang telah diuraikan, terdapat 16 nilai pendidikan karakter dalam kearifan lokal memedi sawah. Ke 16 nilai pendiikan karakter tersebut di antaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

 

C.    Kesimpulan

Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Memedi sawah merupakan bentuk kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. memedi sawah dipasang tidak sekedar menakuti burung agar tidak merusak padi melainkan ada makna simbolis di balik dibuatnya memedi sawah di masa silam. Memedi sawah merupakan simbol ketahanan pangan yang harus dilakukan bangsa negeri ini. Ironisnya, kita belum berdaulat dalam soal pangan. Bahkan ada gejala, runtuhyan kedaulatan pangan. Sehingga kita sekarang banyak mengimpor bahan pangan.

Kehadiran memedi sawah sesungguhnya menjdi tempat kita belajar tentang perjuangan. Memedi sawah telah mengamalkan semua, tidak surut diterpa angin, disengat matahari, dibasahi hujan, tidak lekang teriknya matahari, ataupun dinginnya malam. Tidak pernah memedi sawah mundur sendiri. Dengan kata lain, hikmah filosof memedi sawah dalam kehiduapan adalah kesungguhan yang kuat hingga akhir tercapai tujuan hidup.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Danandjaya, James. 1987. Floklore Indonesia. Jakarta : Gramedia.

 

http://www.kaskus.co.id/thread/lelakut-hantu-sawah-dari-bali (diakses tanggal 9 Oktober 2013).

 

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

 

Ridwan, Nurma Ali. Januari-Juni 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda. Vol. 5 No. 1. http://ibda.wordpress.com/2008/04/07/landasan-keilmuan-kearifan-lokal. 9 Oktober 2013

 

Sartini. Agustus 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat. Jilid 37, Nomor 2. http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf. 9 Oktober 2013

 

Sustiwi, Fadmi. 2013. Memedi Sawah, Kearifan Lokal Mengusir Hama. Kedaulatan Rakyat. 9 Oktober 2013

 

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

 

Pasha, Musthafa Kamal. dkk. 2000. Ilmu Budaya dasar. Yogyakarta: Cipta Karsa Mandiri.

 

Wikipedia bahasa IndonesiaOrang-orangan_sawah.htm (diunduh tanggal 9 Oktober 2013)

 

 

VARIASI PEMAKAIAN BAHASA JAWA MASYARAKAT KELAS BAWAH DI KECAMATAN SRANDAKAN KABUPATEN BANTUL

Standard

 

VARIASI PEMAKAIAN BAHASA JAWA MASYARAKAT KELAS BAWAH

DI KECAMATAN SRANDAKAN KABUPATEN BANTUL

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Suatu masyarakat yang mendiami daerah tertentu pada umumnya terbagi menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang lebih kecil. Makin besar daerah itu serta makin besar  jumlah warganya, makin besar pula kelompok masyarakat yang terbentuk didalamnya. pengelompokan itu terwujud berdasarkan etnik, keahlian dan suatu profesi, agama, kepercayaan, ideologi, cita-cita, sosial-ekonomi, pendidikan, dan banyak lagi lainnya. kelompok itu akan menggunakan bahasanya sendiri dalam komunikasi.

Latar belakang kami mengambil judul “Variasi Pemakaian Bahasa Jawa Masyarakat Kelas Bawah Di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul, karena kami meneliti dan mendata suatu kelompok bahasa dalam kelompok profesi tertentu. Khususnya masyarakat kelas bawah di kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Bahasa yang digunakan dalam profesi tersebut mengandung arti tersendiri. Penggunaan istilah dalam kelompok bahasa dalam suatu profesi dinilai sangat akrab dengan profesi tersebut karena faktor kemudahan dan teknis, serta gaya pengucapannya menjadi ciri khas dalam kelompok profesi tertentu.

Memang masalah bahasa tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Baik itu dalam suatu profesi maupun dalam percakapan biasa sehari-hari. Bahasa menurut teori structural, bahasa adalah suatu sistem tanda arbitreryang konvensional. Berkaitan dengan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahsa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem subsistem-subsistem (Soeparno, 1993: 1). Bahasa lisan merupakan bahasa yang utama, sedangkan bahasa tulis hanyalah presentasi bahasa lisan. Jadi, bahasa lisan merupakan objek primer, sedangkan bahasa tulis merupakan objek sekunder linguistic (Verhar, 1977 dalam Wijaya, 2008).

Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, biasa diartikan oleh masyarakat sebagai alat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dapat mengungkapkan aspek-aspek sosial yang dimiliki oleh lingkungan sosialnya. Satuan kebahasaan pada kenyataannya memiliki variasi yang eksistensinya dipengaruhi oleh variabel (Labov, 1972 dalam Wijaya 2008).Ada beberapa faktor yang terkait dengan variable tersebut: 1) Faktor pribadi, penggunaan bahasa masing-masing indifidu berbeda. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan, latar belakang pendidikan, latar belakang pengalaman hidupnya, atau cirri fisik yang dimilikinya. 2) Faktor asal kedaerahannya. 3) Status sosial seseorang yang berbeda. 4) Faktor usia seseorang seringkali menjadi faktor yang sangat menentukan perbedaan wujud bahasanya. 5) Faktor jenis kelamin yang akan menyebabkan perbedaan perlakuan di dalam keluarga maupun masyarakat. 6) setatus pertuturan, maksudnya dalam penggunaan bahasa ilmiah tentu saja berbeda dengan ketika kita menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. 7) bidang pemakaian, maksudnya bahasa digunakan untuk berkomunikasi di segala bidang (Wijaya, 2008).  Hal tersebut di atas yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk meneliti dan mencermati variasi pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang di atas. Masalah pokok yang hendak dijawab dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1.      Apa saja variasi bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul?

2.      Bagaimanakah variasi bahasa Jawa yang dalam komponen linguistik digunakan oleh masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul?

 

C.    Tujuan Pembuatan Makalah

1.      Mengetahui variasi bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.

2.      Mengetahui variasi bahasa Jawa dalam komponen linguistik, yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul.

 

 

 

D.    Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam mencermati variasi pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul ini dipilih menjadi dua, yakni :

1.      Manfaat Teoritis

Penelitian dalam mencermati variasi bahasa dalam suatu daerah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengetahuan terkait dengan ragam bahasa khususnya dalam studi dialektologi.

2.      Manfaat Praktis

Hasil pengamatan ini dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu studi dialektologi, menjadi acuan penelitian selanjutnya yang terkait, bisa mengembangkan kosa kata, dan memperluas wawasan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

Kajian Teori

A.    Pengertian Dialektologi

Dialektologi adalah ilmu tentang dialek, atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan  isolek dengan memperkuat perbedaan-perbedaan itu secara utuh (Mahsun, 1995: 11). Istilah dialek biasanya dikaitkan dengan semacam bentuk isolek yang substandard dan berstatus rendah. Istilah isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa, seperti yang disarankan oleh Hudson (1970). Perbedaan isolek-isolek yang hampir sama satu sama yang lainnya untuk menyatakan perbandingan bentuk ujaran yang disajikan dalam bentuk sinkronis maupun historis. Menurut Harimurti, dialektologi adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakaiannya; variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu (dialek regional); atau oleh golongan tertentu dari sekelompok bahasawan (dialek sosial); atau oleh sekelompok bahasawan yang hidup dalam tertentu (dialek temporal). Menurut Ayatro dialek adalah sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang berlainan walaupun erat hubungannya. Dalam dialektologi, pastinya tidak terlepas dari bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi. Dan dalam suatu komunikasi ini akan tercipta variasi bahasa. Isolek adalah isoglos pada peta bahasa yang digambarkan melingkar satu kata tertentu Mahsun (1995).

 

B.     Pemetaan dalam Dialektologi

Sesuai dengan objek kajiannya yang berupa perbedaan kajian unsur-unsur kebahasaan karena faktor spasial (gegrafis), maka peta bahasa dalam dialektologi, khususnya dialek geografis memiliki peran yang penting. Peran itu berkaitan dengan upaya menvisulisasikan pernyataan pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi georafis perbedaan-perbedaan (unsur kebahasaan) yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yan dipetakan. Kedua peran itu , masing-masin berkaitan dengan peta peragaan (display map) dan peta penafsiran (interpretative map). Wujud nyata dari suatu karya dialektologi ialah peta bahasa. Unsur terpeting di dalam peta bahasa ialah garis aris yang memissahkan cirri-ciri linuistik tertentu yang berbeda, yang kemudian kita kenal isoglos.

  

1.Isoglos

1.1     Pengertian Isoglos

Secara bahasa, isogloss berarti garis yang memisahkan ciri-ciri linguistik tertentu yang berbeda; garis pada peta bahasa/peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa.

1.2     Pola-pola Isoglos

Menurut para ahli dialektologi, pola-pola isoglos sebenarnya tidak ada. Artinya, pola ini tidak dapat dilihat secara nyata tetapi menggunakan ciri-ciri lingustik/pemakaianbahasa yang ada pada daerah-daerah tertentu.

Contoh pola isoglos:

   Pola “Rhenish-Fan” yang memotong Jerman & Belanda serta memisahkan bagian utara dan selatan melewati Berlin. Perbedaan ciri linguistiknya, yaitu:

   – Low German (bagian utara) menggunakan frikatif pada kata-kata dorf, das, dan machen.

   – High German (bagian selatan) menggunakan konsonan letus tak bersuara pada kata-kata yang sama, yaitu dorp, dat, dan maken.

 

2. Kategori Struktural Isoglos

2.1  Isoglos Leksikal

Fungsi: mendeskripsikan kontras dalam kata-kata yang digunakan para penutur yang berbeda untuk objek/perbuatan yang sama.

Contoh: “aku” (bahasa Jawa dialek Yogyakarta) dan “nyong” (bahasa Jawa dialek Banyumas).

 

2.2  Isoglos Fonetis

Fungsi: mendeskripsikan kontras dalam ucapan yang digunakan penutur yang berbeda untuk satuan linguistik yang sama.

Contoh: kata “apa” è “apo” (Minang); “ap∂” (Pasemah); dan “ape” (bahasa Indonesia dialek Jakarta).

 

2.3  Isoglos Morfologis

Fungsi: mendeskripsikan kontras pembentukan kata yang digunakan oleh para penutur yang berbeda untuk suatu prosede morfologis yang sama.

Contoh: prosede pembentukan kata kompleks (bahasa Jawa) dengan pembubuhan akhiran–e. Misalnya, pada bentuk dasar sapi “lembu” menjadi sapine “lembunya” (Jawa dialek Yogyakarta) dan sapie “lembunya” (Jawa dialek Malang).

 

2.4  Isoglos Sintaksis

Fungsi: mendeskripsikan kontras penggunaan kalimat maupun frase oleh penutur yang berlainan untuk maksud yang sama.

Contoh: kalimat suruh negatif “jangan menangis!” menjadi “aja nangis!” dalam bahasa Jawa dialek tertentu, dan ora nangis! dalam bahasa Jawa dialek yang lain.

 

2.5  Isoglos Semantis

Fungsi: mendeskripsikan kontras makna oleh penutur yang berbeda untuk bentuk yang sama.

Contoh: kata gedhang berarti ‘pisang’ (bahasa Jawa) dan ‘pepaya’ (bahasa Sunda).

a.       Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. Bisa juga didefinisikan sebagai kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau suatu bahasa, kosakata, perbendaharaan kata.

b.      Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna dari ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Sistem dan penyelidikan makna dari arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

 

Dalam pemakaian umum, istilah dialek biasanya dikaitkan dengan semacam bentuk isolek yang substandar dan berstatus rendah. Konotasi negatif yang diberikan pada istilah dialek itu berkaitan dengan sudut pandang sosiolinguistik, yang memperhitungkan penilaian penutur tentang keragaman isolek serta pemilihan sosial yang berkaitan dengan bahasa dan kelakuan berbahasa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

Metode Penelitian

 

A.    Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah variasi bahasa di daerah Srandakan Kabupaten Bantul.  Adapun yang menjadi sampel penelitian adalah bahasa masyarakat berpendidikan rendah yang diambil secara acak seperti petani, tukang bengkel, pedagang dan masyarakat lainnya yang berkelas rendah. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil 39 kata sebagai sampel yang didapatkan dari hasil pencarian data. Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan dijadikan sampel penelitian langsung (Subroto, 1992: 32).

B.     Teknik Pengambilan Sampel

Cara mengambil sampel dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik nonrandom sampling, yaitu semua populasi mempunyai kemungkinan atau kesempatan yang sama untuk dijadikan anggota sample. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan jenis purposive atau bertujuan (purposive sampling).

Dalam pengambilan sampel ini, cara mengambil populasi bukan didasarkan atas strata, random, daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Pengambilan sampel berdasarkan jenis ini harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri pokok populasi (Arikunto, 2006: 139).

C.    Teknik Penyediaan Data

Teknik yang digunakan untuk penyediaan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, komunikasi bebas yang direkam kemudian dilakukan pengamatan pada rekaman. Setelah dilakukan pengamatan, diteruskan dengan proses pencatatan data yang menjadi sampel (data relevan). Data relevan kemudian ditulis pada kartu data atau lembar data yang kemudian dipilih dan dikelompokan menurut jenis-jenisnya yang sesuai.

D.    Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Srandakan, narasumber dari warga masyarakat Srandakan dan peneliti sendiri atau human instrument. Di samping itu, alat rekam digunakan sebagai dokumen pada saat pengamatan data yang kemudian dimasukan dalam kartu data atau lembar data untuk mencatat  data-data tentang penggunaan variasi bahasa Jawa pada masyarakat kelas bawah di daerah Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Alat tulis digunakan sebagai alat untuk mencatat data-data yang diperoleh dari sumber data tersebut.

E.     Metode Analisis Data

Langkah-langkah yang digunakan dalam analisis data adalah pengamatan data, pencatatan data, analisis data, dan klasifikasi data. Pengamatan data digunakan untuk memberikan gambaran data atau sampel yang akan dianalisis. Pencatatan data digunakan sebagi proses pengambilan data yang ditulis dalam kartu data. Analisis data dilakukan setelah proses pencatatan data yang kemudian dianalisis arti dan bentuk bakunya. Klasifikasi data digunakan untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan sehingga mudah dalam melakukan analisis dalam penelitian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PEMBAHASAN

 

A.    Hasil Penelitian

Biodata Tentang Informan 1

            1. Nama                                               : Santosa

            2. Umur                                               : 43 tahun

            3. Jenis Kelamin                                  : Laki-laki

4. Alamat                                            : Dusun Singgelo, Kalurahan Poncosari, Kecamatan Srandakan.

5. Agama                                             : Islam

6. Pendidikan                                      : SMP

7. Pekerjaan                                         : Buruh tani

8. Tinggal di tempat ini sejak              : Lahir

9. Kedudukan dalam masyarakat       : Warga biasa

        

            Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai berikut :

1.      Cengkrong

Cengkrong sama dengan arit, adalah sejenis senjata tajam  variasi dari sabit. Cengkrong merupakan jenis sabit yang agak berbeda, bagian muka dan pungung cengkrong tajam sehingga alat ini multi fungsi. Biasanya digunakan untuk merumput.

2.      Ladhing

Ladhing sama dengan peso adalah penyebutan untuk senjata tajam pisau.

3.      Pengot

Pengot sama dengan pangot adalah alat yang menyerupai pisau tapi biasanya lebih besar dan tebal serta biasanya digunakan untuk menyongkel batok kelapa.

4.      Ponjo, ceblok

Ponjo atau ceblok  sama dengan njojoh adalah kegiatan membuat lubang di tanah dengan menggunakan kayu atau tongkat yang ujungnya dibuat runcing, yang kemudian lubang itu diberi benih tanaman (kacang, jagung, padi).

5.      Pepe, meme, mepe, njereng

Pepe, meme, mepe, njereng merupakan kegiatan menjemur gabah atau hasil pertanian supaya kering. Penduduk Srandakan menyebutnya mepe, pepe, njereng dan  menyebut hal itu meme.

6.      Peper

Peper merupakan persamaan kata dari kethul yang berarti tidak tajam.

7.      Rikolo nggawe ndisek

Rikolo nggawe ndisek sama dengan pas nggawe biyen yang berarti saat pembuatan dulu.

8.      Kuwandel

Kuwandel adalah persamaan kata dari kata kandel yang berarti tebal.

9.      Langsep

Langsep sama dengan langsam yang berarti halus.

10.  Papak

Papak berarti tumpul (tidak lancip).

11.  Kelong

Kelong sama dengan kélong berarti berkurang. Perbedaannya adalah dalam pengucapan huruf vokal /e/.

12.  Melot

Melot sama dengan mleyot yang berarti bengkok.

13.  Asah-eseh

Asah-eseh berarti kegiatan mengasah sabit supaya lebih tajam secara berkali-kali.

14.  Nyusuk

Nyusuk sama dengan nyusruk yang berarti memotong rumput dengan menggunakan punggung sabit dan mendorongkannya ke pangkal rumput yang menempel di tanah. 

15.  Gesrek

Gesrek berarti proses memotong rumput dengan cara menggesekkan sabit ke bagian pangkal rumput.

16.  Lampir

Lampir sama dengan landep yang berarti sangat tajam.

17.  Sah, asah

Sah, asah berarti kegiatan mengasah sabit supaya lebih tajam.

18.  Akeh

Akeh sama dengan okeh yang berarti banyak.

19.  Dikeretke

Dikeretke berarti proses mengadu dua sabit untuk mengetahui kualitas sabit.

20.  Rompal

Rompal sama dengan goang yang berarti bagian sabit yang tajam mengalami kerusakan karena bertemu dengan benda keras.

21.  Tletong, letong, tlepong

Tletong, letong, tlepong berarti kotoran sapi.

 

Biodata informan 2 :

1.   Nama                                              : Suyudi

2. Umur                                               : 55 tahun

3. Jenis Kelamin                                  : Laki-laki

4. Alamat                                            :Dusun Talkondho, Kalurahan Poncosari, Kecamatan Srandakan.

5. Agama                                             : Islam

6. Pendidikan                                      : SMK

7. Pekerjaan                                         : Penjual ayam

8. Tinggal di tempat ini sejak              : Lahir

9. Kedudukan dalam masyarakat       : Biasa

 

Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai berikut:

1.      Pekenan

Pekenan sama dengan peken kata ini berupa bahasa kerama halus yang berarti pasar.

2.      Nak

Nak sama dengan nek, kata ini merupakan kata hubung yang berarti kalau.

3.      Bingkilan

Bingkilan berarti bengkel.

4.      Ngobrah-obrah

Ngobrah-obrah berarti membongkar motor.

 

Biodata informan 3 :

2.   Nama                                              : Jumiah

2. Umur                                               : 70 tahun

3. Jenis Kelamin                                  : Perempuan

4. Alamat                                            : Dusun Singgelo, Kalurahan Poncosari, Kecamatan Srandakan.

5. Agama                                             : Islam

6. Pendidikan                                      : SR

7. Pekerjaan                                         : Buruh tani

8. Tinggal di tempat ini sejak              : Lahir

9. Kedudukan dalam masyarakat       : Warga biasa

 

Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai berikut:

1.      Ron

Ron sama dengan ru yang berarti ukuran sawah seluas 14m2. Jadi, satu ru adalah 14m2.

2.      Lobangang

Lobangang merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu lobangan yang berarti ukuran sawah seluas 10m2.

3.      Salurang

Salurang merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu saluran yang berarti saluran air atau selokan.

4.      Mbanyulang

Mbanyulang berarti pertemuan dua sungai.

5.      Ceblo’ang

Ceblo’ang merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu ceblokan yang berarti proses pembuatan lubang yang akan diberi benih kedelai.

6.      Kudanang

Kudanang merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu kudanan yang berarti kehujanan.

7.      Macit

Macit sama dengan mangan berarti makan makanan ringan dalam rangka istirahat (bukan makan nasi).

8.      Mbek nek dinggahke wintoro sing lepat

Mbek nek dinggahke wintoro sing lepat sama dengan disimpen sak durunge beras elek yang berarti menyimpan beras sebelum menjadi busuk.

9.      Riki

Riki sama dengan mriki yang berarti kesini.

10.  Goge

Goge berarti thiwul yang dikeringkan.

11.  Gawul

Gawul berarti ampas ketela.

12.  Dis

Dis berarti mati, kata ini diunakan untuk mengatakan ketika keyong-keyong di sawah mati.

13.  Dangsul

Dangsul sama dengan déle yang berarti kedelai.

14.  Dek mbiyen

Dek mbiyen sama dengan gek biyan yang artinya saat dulu.

 

  1. Analisis Kosakata

Untuk lebih jelas dalam memahami berbagai kosakata yang sudah dijelaskan diatas, maka lebih jelasnya akan diterangkan pada tabel dibawah :

1.      Morfologi

1.1 Reduplikasi 

No

Kosakata

Bahasa Baku Jawa

Bahasa Indonesia dan Keterangan

1

Asah-eseh

Ngasah bola-bali

mengasah sabit supaya lebih tajam secara berkali-kali

2

Ngobrah-obrah

 

Bongkar

membongkar motor.

 

2.      Leksikon

No

Kosakata

Bahasa Baku Jawa

Bahasa Indonesia dan Keterangan

1.

Peper

Kethul

pəpər merupakan arti dari tidak tajam

2.

Ladhing

Peso

Merupakan penyebutan untuk senjata tajam pisau.

 

3.

Rompal

Goang

berarti bagian sabit yang tajam mengalami kerusakan karena bertemu dengan benda keras.

 

4.

Melot

 

Mleyot, benkong

sama dengan yang berarti bengkok.

5.

Lampir

Landep

berarti sangat tajam

 

6.

Langsep

 

sama dengan langsam yang berarti halus.

 

7.

Bingkilan

 

berarti bengkel.

 

8.

Ponjo atau ceblok  

 

sama dengan njojoh adalah kegiatan membuat lubang di tanah dengan menggunakan kayu atau tongkat yang ujungnya dibuat runcing, yang kemudian lubang itu diberi benih tanaman (kacang, jagung, padi).

 

9

Ceblo’ang

 

merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu ceblokan yang berarti proses pembuatan lubang yang akan diberi benih kedelai.

 

10

Macit

 

berarti mangan berarti makan makanan ringan dalam rangka istirahat (bukan makan nasi).

 

11.

Mbanyulang

 

berarti pertemuan dua sungai.

 

Dangsul

 

sama dengan déle yang berarti kedelai.

 

12.

Cengkrong

 

sama dengan arit, adalah sejenis senjata tajam  variasi dari sabit. Cengkrong merupakan jenis sabit yang agak berbeda, bagian muka dan pungung cengkrong tajam sehingga alat ini multi fungsi. Biasanya digunakan untuk merumput.

 

13.

Gesrek

 

berarti proses memotong rumput dengan cara menggesekkan sabit ke bagian pangkal rumput.

 

14.

Lobangang

 

merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu lobangan yang berarti ukuran sawah seluas 10m2.

 

15.

Salurang

 

merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu saluran yang berarti saluran air atau selokan.

 

16.

Mbanyulang

 

berarti pertemuan dua sungai.

 

17.

Kudanang

 

merupakan variasi pengucapan untuk kata sebenarnya yaitu kudanan yang berarti kehujanan.

 

18.

Tletong, letong, tlepong

 

berarti kotoran sapi.

 

 

 

 

 

 

 

3.      Fonologi

No

Kosakata

Bahasa Baku Jawa

Keterangan

1

Pengot

Pangot

Pengot-pangot (perbahan vokal /e/-/a/).

 

2

Kelong

Kélong

Kelong-kélong (perubahan vokal /e/-/é/).

3.

Akeh

Okeh

Akeh-okeh (perubahan vokal /a/-/o/).

4.

Nak

Nek

Nak-nek (perubahan vokal /a/-/e/).

5.

Ron

Ru

Run (perubahan vokal /o/-/u/).

 

 

4.      Semantik

No

Kosakata

Bahasa Baku Jawa

Keterangan

1

Tletong, letong, tlepong berarti kotoran sapi.

 

Pangot

Pengot-pangot (perbahan vokal /e/-/a/).

 

2.

Kelong

Kélong

Kelong-kélong (perubahan vokal /e/-/é/).

3.

Akeh

Okeh

Akeh-okeh (perubahan vokal /a/-/o/).

4.

Nak

Nek

Nak-nek (perubahan vokal /a/-/e/).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

Kesimpulan

Perbedaan internal masyarakat manusia tercermin dalam bahasanya, kelompok sosial yan berbeda menggunakan variasai bahasa yan berbeda. Kajian variasi paling awal dilakukan oleh Fischer (1958) mengenai variable /ng/. variasi ini digunakan oleh kelompok sosial kelas atas dan kelas sosial bawah. Kata /singing/ diucapkan menjadi /singing/ dan /singin/. Kajian ini menunjukan bahwa kelas atas akan menucapkan /singing/, /shooting/, dan /fising/, sedangkan kelas sosial bawah akan mengejanya menjadi /singin/, /shoting/, dan /fisin/. Namun penelitian yang dilakukan oleh Fischer di Amerika bertolak belakang denan penelitian yang dilakukan oleh penyusun di daerah Serandakan, karena kata /lapangan/ diucapkan mejadi /lapanan/ dan /lapangang/. Kajian ini menunjukan bahwa kelas atas akan menucapkan /lapangang/ sedangkan kelas sosial bawah akan mengejanya menjadi /lapangan/.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ayatrahaedi, 1979. Dialektologi. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mahsun, 1995. Dialektologi Diakronis. Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press.

Haji: Simbol Puncak Ketakwaan

Standard

 cirebon

Berbicara megenai beribadah, tentu tidak akan lepas dari rukum Iman dan rukun Islam. Rukun Iman dan rukun Islam adalah kewajiban dan tuntunan umat muslim dalam menjalani kehidupan. Dalam pembahasan ini, penulis mencoba untuk mengedepakan bagaimana haji sebagi simbol puncak ketakwaan, apa bentuk ketakwaan, bagaimana sarana ibadah seorang muslim, dan kaitan haji sebagai salah satu rukun islam.

Latar belakang ibadah haji didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa’i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka’bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Selain itu, wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia

Haji merupakan rukun Islam kelima setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa Ramadhan. Empat rukun di atas harus dikerjakan semua umat muslim tanpa terkecuali. Sementara haji diwajibkan bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, kesehatan, maupun psikologis.

Haji bukan sekedar ibadah mahdlah, tetapi ibadah yang mengandung dimensi sosial. Sebab, dalam proses ibadah haji memiliki rasa empati terhadap yang lain. Hal itu bisa dirasakan ketika thowaf, berjamah, dan dimensi sosial lainnya. Dalam haji, kesadaran yang hakiki menjadi titik tolak yang ampuh untuk menghambakan diri seutuhnya.

Untuk itu, setiap jamaah haji senantiasa ingat terhadap posisi dirinya sebagai hamba Allah penuh kelemahan dan kekurangan. Bagi para jamaah haji, niatan suci untuk menyempurnakan ibadah; meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah harus benar-benar tertanam dalam hati. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Tidak sempurna ibadah seseorang dalam hidupnya bila tidak melaksanakan haji. Dengan kata lain, berhaji adalah tugas sekaligus impian seluruh kaum muslim di seluruh dunia.

Seseorang yang telah berhaji tentu akan merasakan bagaimana keagungan Allah. Yang mana seorang muslim akan menauhidkan terahdap Allah. Namun, seorang muslim tidaklah mungkin mencapai derajat taqwa kepada Allah bilamana seorang muslim tidak bersungguh-sungguh untuk merealisasikan tauhid. Hal itu bisa kita lihat dalam Alquran surat Al-Anbiyaa, ayat: 25 sebagai berikut.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.

Selanjutnya, dalam Alquran surat Al-Ahzaab, surat 71 sebagai berikut.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Dan siapa saja yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.”

Kita harus mengetahui bahwa seluruh perintah Allah  membawa kebaikan (maslahat) bagi para hamba-Nya, tidak ada perintah Allah yang sia-sia. Semua perintah Allah dan Rasul-Nya pasti membawa manfaat bagi hati, akal, panca indera, rumah tangga, maupun dunia dan akhirat kita. Perintah Allah untuk bertauhid, bertaqwa, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, melaksanakan haji, berbuat baik kepada orang tua, menyambung silaturrahim, dan semua perintah-Nya akan membawa kebaikan dan manfaat kepada kita.

Allah melarang hamba-Nya berbuat syirik, sebab kesyirikan itu berbahaya dan membawa keburukan, serta akan disiksa (diadzab) oleh Allah di dunia maupun di akhirat. Allah melarang hamba-Nya berbuat bid’ah dan maksiat karena akan membuat sengsara hidupnya, gelap hatinya, akan diadzab oleh Allah dan tidak mendapatkan rahmat.

Demikian juga, Allah melarang hamba-Nya melakukan perbuatan dosa seperti meninggalkan shalat, durhaka kepada kedua orang tua, zina, riba, membunuh, mencuri, memutuskan silaturrahim, memfitnah, berjudi, meminum khamr, atau yang lainnya. Oleh karena itu, kita wajib bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Sebab, seluruh perintah Allah adalah bermanfaat dan seluruh yang dilarang Allah adalah berbahaya.

A. Bagian dari Bentuk Ketaqwaan

Bentuk takwa yang hakiki ialah seorang hamba bersungguh-sungguh menjauhi seluruh dosa, yang besar maupun yang kecil serta bersungguh-sungguh melakukan seluruh bentuk ketaatan, baik yang wajib maupun yang sunnah semampunya dengan harapan semoga banyaknya ibadah sunnah yang dilakukan dapat menutupi kekurangan yang ada pada saat melakukan kewajiban, dan menjauhi dosa-dosa kecil sebagai benteng yang kuat antara seorang hamba dengan dosa-dosa besar.

Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Termasuk taqwa yang sempurna adalah melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan segala bentuk keharaman dan syubhat lalu disertai dengan melaksanakan amalan sunnah dan meninggalkan yang makruh. Itulah derajat taqwa yang sempurna.”

Perintah Taqwa

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

“Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang telah diberi kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertaqwa kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 131).

Allah Ta’ala memerintahkan umat-umat terdahulu maupun yang datang kemudian agar bertakwa kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102).

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah Allah itu ditaati dan tidak dimaksiati diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari.”3

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzaab: 70).

Allah Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231).

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Dari bentuk-bentuk takwa yanag telah diuraikan di atas, setiap muslim pastilah mengetahui bahwa ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu bentuk takwa dari lima rukun islam. Dalam melakukan ibadah haji, Jutaan muslimin dari berbagai penjuru dunia akan membanjiri tanah suci. Selama beribadah haji, umat muslim senantiasa mengucap talbiyah menyambut panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Berangkat ke tanah suci, melaksanakan ibadah haji merupakan impian setiap insan beriman mewujudkan titah Allah Yang Maha Rahman, yang telah berfirman:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran: 97)

Ibadah haji bukan hanya mendapat panggilan gelar haji saja. Lebih dari itu,  ibadah haji wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang mampu. Maksud mampu di sini yakni punya bekal harta yang cukup untuk membayar administrasi dan tubuh yang sehat yang memungkinkan untuk berangkat haji.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Dan siapa saja yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (QS. Al-Ahzaab: 71).

Kita harus mengetahui bahwa seluruh perintah Allah Ta’ala membawa kebaikan (maslahat) bagi para hamba-Nya. Tidak ada perintah Allah yang sia-sia, semua perintah Allah dan Rasul-Nya pasti membawa manfaat bagi hati, akal, panca indera, rumah tangga, maupun dunia dan akhirat kita. Perintah Allah untuk bertauhid, bertaqwa, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, melaksanakan haji, berbuat baik kepada orang tua, menyambung silaturrahim, dan semua perintah-Nya akan membawa kebaikan dan manfaat kepada kita.

B. Sarana Ibadah Seorang Muslim

Haji adalah simbol yang terbentuk dari berbagai amalan, simbol penyerahan diri seorang hamba keada Allah swt. Haji dapat membangkitkan bebragai perasaan: membangkitkan rasa kasih sayang terhadap sesama muslim, membantu kepedihan mereka, dan merasakan apa yang dirasakan oleh generasi Islam pertama yang pernah hidup di tempat tersebut. Dengan kata lain, dalam setiap amalan haji terkandung berbagai pelajaran dan makna.

Rasulullah saw secara sungguh-sungguh telah mengajarkan agar manusia sebagai makhluk berusaha menciptakan hubungan baiknya kepada Allah swt selaku Penciptanya; sebagai bentuk penghambaan melalui peran ketaatan dan kepatuhan hamba Allah terhadap segala tuntutan dan perintah–Nya. Selain itu, mewujudkan hubungan yang baik antara makhluk dengan sesamanya dalam bentuk sosial kemasyarakatan merupakan bagian kedua atau tindaklanjut syiar Islam yang diamanahkan Rasulullah.

Dalam kaitan itu, sejalan dengan peringatan Allah; secara tegas Islam menyuruh dan mengatur dua sistem hubungan yang dimaskud (hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia). Ketika hal ini tidak dipatuhi secara utuh, manusia itu akan hina dan kekuasaannya akan sirna. Allah befirman: “Mereka (manusia) akan diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah (menjaga hubungan dengan Allah) dan memperbaikan hubungan dengan manusia…” (QS. Ali ‘Imran ; 112)

Sebagai upaya konkret mewujudkan dua sistem hubungan tersebut, maka mutlak bagi kita untuk memelihara eksitensi sebagai hamba Allah.  Eksitensi itu selalu dan tetap konsisten dalam menghambakan diri kepada–Nya, meningkatkan syiar Islam dan memakmurkan tempat ibadah sebagai upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dengan kata lain, implementasi dari upaya dimaksud adalah mengoptimalkan berbagai aktifitas ibadah dan muamalah secara terus menerus.

Sebagai sarana ibadah seorang muslim, ibadah haji dapat menghapus dosa. Dosa yang mana manusia tidak akan lepas dari permasalahan dunia. Permasalahan terjadi dari khilafan baik  berupa dosa kecil atau pun dosa besar. Namun, ibadah haji itu tidak sertamerta bisa menghapus seluruh dosa. Ibadah haji tersebut harus memenuhi aturan berhaji, hal ini sesuai dengan hadis sebagai berikut.

 

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa yang melakukan ibadah haji dengan tidak mencaci maki dan tidak pula melakukan maksiat, maka dia kembali seperti padaa hari kelahirannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain sebagai sarana untuk menghapus dosa, ibadah haji memiliki keutamaan, yakni salah satu di antara ibadah yang utama dan haji termasuk jihad yang paling afdahal. Hal ini bisa dilihat dalam hadis sebagai berikut.

“Dari Abu Hurairah, telah ditanya Rasulullah saw. Amal apakah yang paling utama, Nabi menjawab: iman kepada Nabi dan Rasul-Nya, kemudian apalagi, Nabi menjawab: beruang dijalan Allah, kemudian apalagi, Nabi menjawab: Haji mabrur” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Dari ‘Aisyah r.a. Sesungguhnya beliau berkata, ya Rasulullah, engkau berpendapat bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, kenapa kami tidak berjihad? Lalu Beliau bersabda: Tetapi amal yang paling utama adalah haji mabrur (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dari hadis-hadis di atas, ibadah haji merupakan aktivitas mendatangi ‘rumah’ Allah dan sarana ibadah umat muslim sembari menjumpai tempat-tempat suci. Ibadah haji tersebut bermanfaat bagi umat muslim untuk merefleksi diri dan mengingatkan untuk berhijrah dari yang buruk ke jalan yang lurus.

C. Haji sebagi Salah Satu Rukun Islam

Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar sebagai berikut:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ؛ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ.

“Islam didirikan atas lima dasar, yakni: (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; (2) mendirikan shalat; (3) mengeluarkan zakat; (4) puasa Ramadhan; dan (5) beribadah haji.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Seperti apa yang dipahami umat muslim,  Allah swt menyuruh manusia untuk menaati semua perintah dan larangan-Nya. Salah satu perintah yang wajib kita laksanakan adalah Rukun Islam. Rukun Islam tersebut terdiri dari lima perkara, yaitu; mengucap dua kalimah syahadat, dan menunaikan haknya, menunaikan salat fardu lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadan, membayar zakat, dan mengerjakan haji bagi mereka yang mampu.

Dalam pembahasan ini, penullis mengedepankan rukun Islam yang kelima yakni ibadah haji. Ibadah haji berbeda dengan umrah karena waktu yang terbatas. Al-Quran surat AL Baqarah ayat 197 menyebutkan mengenai hal ini. Musim haji dilaksanakan pada bulan Syawal, bulan Zulqaidah, dan bulan Dzulhijah. Sehingga waktunya dibatasi selama 69 hari saja.

Dalam salah satu hadis, Rasullulah saw mengatakan bahwa ‘Al Hajju Hiyal Arafah’, maksudnya tidak ada haji bila tidak ada wukuf di padang Arafah. Rukun haji inilahyang paling penting dan tidak sah berhaji bila tidak melaksanakannya. Maka tak heran bila ada jemaah haji yang sakit pun disediakan fasilitas seperti ambulan agar mampu melaksanakan wukuf. Wukuf di Arafan dilaksanakaan pada tanggal 9 Dzulhijah.

Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ibadah tahunan yang dilaksanakan kaum muslim yang mampu secara material, fisik, dan keilmuan. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Naik haji ke Baitullah (rumah Allah) mempunyai arti menyembah Allah dengan menuju ke Al Baitul Haram (rumah suci) untuk mengerjakan syiar atau manasik haji. Selain menjalankan ibadah, hikmah berhaji akan melatih jiwa untuk mengerahkan segala kemampuan harta dan jiwa tetap taat kepada Allah. Oleh kerana itu, haji merupakan salah satu macam jihad fi sabilillah.

Menunaikan ibadah haji adalah ibadah penutup rukun islam. Ibadah ini merupakan sebuah ibadah yang bisa dibilang spesial, mengingat tidak semua orang sanggup dan diberi kesempatan untuk melaksanakannya. Ibadah haji ini terdiri atas berbagai jenis ibadah di dalamnya, bukan sekedar sekumpulan ibadah dan keiatan ziarah ke tahan suci saja. Melainkan, ibadah yang syarat akan makna filosofis dan manfaat yang bisa direnungi. Berikut beberapa hikmah menunaikan ibadah haji di antaranya sebagai berikut.

  1. Mempertebal keimanan setelah menginjakan kaki langsung di tanah suci, di mana islam pertama kali muncul dan berkembang. Ibadah Haji secara tidak langsung telah menyatukan umat muslim dari seluruh dunia. Mereka terdiri dari berbagai bangsa, warna kulit dan bahasa. Kondisi tersebut membuka pandangan dan pemikiran tentang kebenaran Alquran yang diterangkan semua dengan jelas dan nyata. Hal ini bisa di lihat dalam Alquran surat Al-Hujarat, ayat 13 dan Ar-Rumm, ayat 22;  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu.”
  2. Menumbuhkan rasa syukur atas nikmat Allah atas kesehatan, kesejahteraan, dan kesempatan yang diberikan Allah sehingga seseorang muslim dapat berhaji.
  3. Merenungi kesulitan Rasullulah dalam menyebarluaskan Islam dan kesulitan Siti Hajjar dalam memohon pertolongan Allah.
  4. Membuka jalan tobat bagi mereka yang meresapi seluruh kegiatan hajinya dan menyadadari khilafan-kehilafannya di masa lalu
  5. Mengingatkan kepekaan sosial dengan berkurban
  6. Syiar perpaduan umat Islam, ibadah haji merupakan syiar perpaduan umat Islam. Kondisi ini kerana umat muslim yang menjalankan ibadah haji hanya mempunyai satu tujuan, yakni menunaikan perintah Allah atau kewajiban rukun Islam yang kelima. Dalam memenuhi tujuan tersebut, umat muslim yang berhaji melakukan perbuatan yang sama, memakai pakaian yang sama, dan menaati aturan yang sama. Peristiwa ini seharusnya menjadi cerminan umat muslim dalam kehidupan sehari-hari apabila pulang ke negara masing-masing.

Selain hikmah yang diuraikan di atas, sesungguhnya masih banyak hikmah lain yang bisa diperoleh dan direnungkan dalam setiap kegiatan dan ritual yang dilaksanakan dalam ibadah haji.

Di dalam salah satu bait “Syair Haji” ditemukan ajaran islam yang memperhatikan petunjuk dan sekaligus meningkatkan kepada pembaca, terutama orang islam, bahwa ibadah haji itu  merupakan rukun Islam yang ke lima. Rukun haji wajib dilakukan oleh setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk jelasnya, bentuk “Syair Haji” yang memberikan informasi tentang ajaran ibadah haji dapat dilahat pada kutipan berikut.

Haji dan umroh keduanya sama

Itulah rukun islam yang kelima

Seumur hidup sakali wajib agama

Jika salah tiada diterima

Di dalam kutipan syair bait syair itu terdapat kelompok kata seumur hidup sekali wajib agama pada larik yang ketiga. Kata wajib yang tertulis itu menurut ilmu Fikih di sebut fardu yang d bagi menjadi dua, yakni fardu’ain dan fardu kifayah. Dalam hal ini yang dibicarakan hanyalah fardu’ain, yakni suatu kewajiban dalam gama islam yang harus dilakukan oleh setiap individu orang islam. Jika fardu’ain telah dilakukan, berarti orang itu telah bebas dari beban yang dipikulnya, dan ia akan memperoleh pahala dari Allah, tetapi jika fardu’ain itu ditinggalkan, ia akan memperoleh siksa dari Allah.

Kewajiban menunaikan ibadah haji  itu boleh dilakukan hanya satu kali seumur hidup mengingat Baitullah itu letaknya sangat jauh dan sulit dalam perjalanan. Oleh karena itu, kewajiban menunaikan ibadan haji memperoleh keringanan dari Allah dengan catatan bahwa orang telah mampu melaksanakannya.  Dalam hal ini yang penting ialah masalaah biaya yang harus mencukupiuntuk pergi dan pulangnya.

 Di antara tujuan terbesar dari ibadah haji adalah menyatukan barisan kaum muslimin di atas al-haq dan membimbingnya mereka kepada al-haq, agar mereka istiqamah di atas agama Allah, beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, dan tunduk patuh terhadap syari’at-Nya.

Allah swt menjelaskan bahwa Baitullah (Kabah) adalah rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia, yakni di muka bumi, untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana telah sah dalam Ash-Shahihain dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dia berkata :

Aku bertanya, wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Al-Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Masjidil Aqsha.” Aku lalu bertanya lagi, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “40 tahun,” Aku bertanya, “Kemudian mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kemudian di mana pun waktu shalat tiba, maka shalatlah di situ, karena itu adalah masjid.” (HR. Al-Bukhari 3186, Muslim 520)

Rasullulah menjelaskan bahwa rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia adalah Al-Masjidil Haram, yaitu rumah yang dibangun untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Sebelumnya sudah ada rumah-rumah untuk dihuni/tempat tinggal, namun yang dimaksud di sini adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah dengan ucapan dan amalan yang diridhai-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Al Asqani, Al Hafidz bin Hajar. 2009. Terjamah lengkap Bulughul Maram. Jakarta : Akbar.

Ali, Maulana Muhammad. 1992. Kitab Hadits Pegangan. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.

Al Malik Fahd Li Thiba AlMushaf. 1990. Alquran dan Terjemahannya. Saudi Arabia.

Arifin, Agus. 2009. Peta Perjalanan Haji dan Umrah. Jakarta: PT. Elekmedia Komputindo.

Dani, Ahmad.  2011. Hikmah Ibadah Haji.  Diakses tangal 25 November 2013 dari  http://Berita Seputar Haji-Haji.Okezone.com.htm.

Http://Haji-Ibadah Ritual Nan Penuh Arti-Anneahira.Com.htm. Diakses tanggal 24 November 20113 pukul 21.00 WIB.

Http://Ketaqwaan dan Kiat Meraihnya_Muslim Sumbar.htm. Diakses tanggal 24 November 20113 pukul 20.00 WIB.

Madasrah Mu’allimin-Mu’allimat Muhammadiyah. Fiqih. Yogyakarta.

Shaleh, Syaikh. 2013. Petunjuk Bagi Jamaah Haji dan Umroh. Saudi Arabia.

Toha, Busri. 2013. Haji. Diakses tangal 25 November 2013 dari  http://Haji – Busri Toha.htm.